
Ia menjelaskan, Pasal 34 Ayat 1 UUD 1945 menyebutkan, fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara negara. Definisi kata ''telantar'', menurutnya, perlu dipertegas sehingga anak-anak yatim termasuk di dalamnya. Harapannya, pemerintah akan memberikan perhatian yang serius terhadap operasional panti-panti asuhan di seluruh Indonesia.
Pemerintah Indonesia, kata Tutty, perlu belajar dari negeri tetangga, Malaysia. Dalam melindungi anak-anak yatim, pemerintah Malaysia turun tangan langsung dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Komitmen seperti itu juga ditunjukkan Forum Yatim ASEAN. Lembaga ini bersedia menyekolahkan anak-anak yatim, bahkan hingga mereka menempuh pendidikan S-3.
"Anak yatim merupakan potensi besar bagi perbaikan masa depan Indonesia," tegas Ketua Umum Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT) itu.
Keprihatinan serupa disampaikan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Arist Merdeka Sirait. Ia menilai, selama ini pemerintah abai terhadap hak-hak konstitusional anak-anak yatim. Padahal, jumlah anak-anak yang kurang beruntung itu cukup banyak.
"Menurut data, ada sekitar 4,8 juta anak telantar di Indonesia. Sekitar 38 persennya merupakan anak-anak usia balita yang tanpa perlindungan keluarga sehingga bisa dikatakan yatim piatu," kata Arist.
Pengabaian terhadap anak-anak yatim sungguh ironis. Sebab, UUD 1945 jelas-jelas menyebut bahwa anak-anak telantar dipelihara negara. Artinya, pemerintah tidak punya alasan apa pun untuk tidak maksimal melindungi anak-anak yatim di Indonesia.
Kurangnya perhatian pemerintah terhadap nasib anak-anak telantar, termasuk di dalamnya anak yatim, kata Arist, sudah tampak dalam perumusan anggaran di Kementerian Sosial. "Sepengetahuan saya, jumlah nominal anggaran untuk anak-anak telantar selalu turun dari tahun ke tahun," ungkap dia.
Bukan dana kompensasi
Arist mengingatkan, anggaran untuk anak-anak yatim itu tidak boleh dianggap sebagai dana kompensasi. Sebab, pemenuhan hak konstitusional anak yatim tidak sama dengan ganti rugi dari pemerintah, misalnya, terkait kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
"Harus dibedakan, sebab melindungi anak yatim adalah kewajiban pemerintah, apa pun situasi yang terjadi,'' tegas dia.
Sementara, Rita Pranawati, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), berpendapat, dana kompensasi dari pemerintah, bilapun ada, boleh saja mencakup peningkatan kehidupan anak-anak yatim. Sebab, hak-hak sipil anak-anak yatim harus dilindungi, misalnya, terkait surat akta lahir.
"Kini, terdapat lebih dari 15 juta anak Indonesia yang tidak punya akta kelahiran. Ini tentu akan menghambat mereka, semisal, untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah negeri," katanya.
Rita juga menekankan, di panti asuhan perlu dibedakan antara anak-anak yang masih memiliki sanak famili dan yang tidak. Sebab, banyak pula orang tua atau keluarga yang menitipkan perawatan anak-anaknya ke panti asuhan. Padahal, kata dia, pengasuhan yang terbaik bagi anak ada di dalam keluarga.
"Pemisahan anak dari keluarganya adalah opsi terakhir," jelas Rita.
Rita pun berharap, penguatan panti asuhan oleh pemerintah dapat dimulai dari basis kepala keluarga (KK). Artinya, dipenuhinya kewajiban pemerintah untuk memelihara anak-anak yatim juga berarti peningkatan taraf hidup tiap KK. Dengan demikian, anak-anak yang rentan kekerasan dapat ditangani secara maksimal. ''Di sinilah koordinasi Kementerian Sosial dengan tiap panti asuhan menjadi penting.''
Melindungi generasi penerus bangsa, termasuk anak-anak yatim, merupakah salah satu kewajiban pemerintah. Tapi, selama ini, perhatian pemerintah terhadap anak-anak yatim masih sangat kurang.
ed:wachidah handasah
Monday, 10 November 2014, 15:00 WIB
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/urbana/14/11/10/netcw8-pemerintah-kurang-perhatikan-anak-yatim
Foto: adminskss.blogspot.com
0 comments:
Post a Comment